Derai linangan air mata tercucur
dari kedua mata mulia Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam seraya membolak
balikan sebuah kalung digenggamannya. Kalung yang sangat ia kenali itu berasal
dari seorang bangsa Qurays yang hendak menebus saudaranya dari tawanan kaum
muslimin pada perang Badar. Kalung itu serasa mendobrak pintu qolbu dan membuka
kembali lembaran memori kenangan indah yang telah lama tersimpan jauh dalam
lubuk hati Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Kenangan indah bersama
seorang wanita mulia yang berhasil menyentuh sukmanya sebelum ia kembali
keharibaan Sang Pencipta meninggalkan hiruk pihuk dunia ini. Kalung itu….
Kalung itu adalah milik seorang
insan pemilik tempat yang istimewa dihatinya. Ia adalah sang penyejuk hati,
cinta sejati, penghibur tatkala gundah, dalam dekapannya ia temukan ketenangan.
Pemilik kalung itu, pernah mendaki gunung menjulang sekedar membawakan bekal
makanan minuman untuknya di gua hira dan memberikan kesempatan baginya untuk
berkhalwat bermunajat dengan tuhannya. Wanita mulia yang rela mengorbanan harta
jiwanya demi sang kekasih tercinta.
Rasulullah shallallahu ‘alayhi
wasallam kembali mengenang ketika ia menyelimuti tubuhnya yang goncang
ketakutan setelah didatangi malaikat Jibril menyampaikan wahyu perdana. Terulang
kembali ingatan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam belaian lembut sang
kekasih setiap kali kaum kafir Qurays mengganggu dan mengoloknya. Dimatanya,
beliau temukan cahaya penyejuk hati yang menentramkan jiwa yang terpancar penuh
makna. Wanita mulia yang selalu membenarkan segala ucapannya ketika kebanyakan
manusia mendustakannya. Jiwa yang senantiasa setia disisinya mensupport ketika
manusia meninggalkannya.
Seakan masa itu kembali, ketika
beliau berada disisi seorang wanita mulia yang tidak terdengar darinya kecuali
suara yang lembut sepanjang umur pernikahan yang hampir seperempat abad. Air
mata Rasulullah menetes mengingat kebersamaan mereka menanggung rasa lapar
dahaga akibat boikot penduduk Makkah terhadap kaum muslimin.