oleh : Abdul Malik (Budidaya Pertanian UGM 2011)
10 Essai Terbaik dalam Essay Competition International Science and Art Festival UGM
Kekayaan di
Indonesia amat melimpah, mulai dari sektor agraria juga sektor perairan (laut).
Maka tak mengherankan Indonesia pernah dijuluki sebagai negara agraris dan
maritim. Hal ini menunjukkan bahwa unsur di bumi pertiwi dapat membawa
kesejahteraan bagi rakyatnya karena ketersediaan sumber daya alam tersebut
untuk dapat dimanfaatkan. Hanya bagaimanakah cara memanfaatkan dan mengatur
kekayaan tersebut sehingga tetap terjaga. Ironisnya, kondisi bangsa ini semakin
terpuruk dengan kondisi kemiskinan, kelaparan dan musibah yang melanda di
beberapa daerah, yang tak sebanding dengan jumlah kekayaan yang melimpah.
Salah satu kantong kemiskinan yang cukup penting
adalah kawasan pinggiran perkotaan. Kawasan pinggiran perkotaan dicirikan oleh
tingkat pendidikan masyarakatnya yang relatif rendah, umumnya
bermatapencaharian sebagai petani subsisten dan tingkat kepemilikan lahan yang
sempit (rata-rata < 2500 m2 per keluarga petani). Kendala utama
sektor pertanian di kawasan pinggiran perkotaan adalah kepemilikan lahan yang semakin
sempit. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sarjono, Ketua Kelompok Tani
Sedya Rukun, Kasihan, Bantul, beliau mengatakan bahwa rata-rata lahan yang
dimiliki oleh para anggota kelompok hanya 0,03 ha dan mengalami penyempitan
hinggal 2% pertahun. Hal ini disebabkan karena mulai berkembangnya
industrialisasi pada lahan pinggiran perkotaan yang mengakibatkan alih fungsi
lahan.
Charles Colby, 1993 (dalam Yunus 2000:177)
mengemukakan bahwa kota berkembang secara dinamis dalam artian selalu berubah
dari waktu ke waktu. Perkembangan (fisik) ruang merupakan manifestasi spasial
dari pertambahan penduduk sebagai akibat dari meningkatnya proses urbanisasi
maupun proses alamiah (melalui kelahiran), yang kemudian mendorong terjadinya
peningkatan pemanfaatan ruang serta perubahan fungsi lahan. Di samping itu juga
terjadinya fragmentasi lahan, yaitu dalam satu keluarga lahan yang awalnya luas
dibagi-bagi/diwariskan, sehingga lahan tersebut mengalami penyusutan dan
menjadi involutif (Produktivitas pertanian yang stagnan).
Namun, terlepas dari transformasi ekonomi dan perubahan sosial di masyarakat
pinggiran perkotaan yang semakin mengantarkan Indonesia menuju negara industri,
nampaknya tidak salah jika kita masih menganggap Indonesia sebagai negara agraris.
Data Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2011 menginformasikan, jumlah penduduk Indonesia yang
bekerja di sektor pertanian mencapai 39.328.915 jiwa, dengan laju pertumbuhan
penduduk diasumsikan 1,3-1,5 persen pertahun (http://www.litbang.deptan.go.id/special/rppk(online), diakses pada 31 Januari 2013).
Kondisi ini tentulah harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Angka
pertumbuhan produksi pangan seharusnya di atas atau setidak-tidaknya sama
dengan angka laju pertumbuhan tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan pangan
dimaksud dapat terwujud dengan adanya dukungan ketersediaan lahan pertanian dan
optimalisasi pemanfaatan bahan pangan lokal. Namun, yang terjadi sebaliknya
yaitu menurunnya penggunaan lahan sawah. BPS kembali melaporkan bahwa pada
tahun 2012 saja terjadi penyusutan seluas 12,63 ribu hektar atau 0,1 % total
luas lahan. Secara keseluruhan, lahan pertanian di Indonesia berkurang 27 ribu
hektar per tahun. (http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4617&Itemid=29(online), diakses pada 31 Januari 2013).
Berdasarkan data tabel neraca luas lahan diatas
dapat diketahui bahwa penyebab lainnya menurunnya produktivitas lahan dan
penyebab stagnasi dikarenakan semakin tingginya alih fungsi lahan pertanian,
sperti pada tabel neraca lahan sawah diatas menunjukkan bahwa tingkat konversi
lahan sawah di Indonesia lebih tinggi dari pada penambahan luas lahan sawah di
tahun 1999 – 2002 yaitu seluas 423.857 hektar. (Badan Litbang Pertanian (RPPK), 2005). Alih fungsi lahan tersebut
terjadi karena lahan pertanian yang sempit dan produktivitas yang semakin
menurun, memaksa petani lebih memilih beralih ke perikanan darat atau yang
lebih parah lagi dijual untuk dijadikan perumahan.
Kondisi alih fungsi
lahan pertanian tersebut tampaknya tidak sejalan dengan program swasembada
pangan yang merupakan program prioritas pemerintah. Sementara itu, kebutuhan
pangan yang meningkat setiap tahunnya, mengakibatkan harga bahan pangan
melonjak jika tidak diimbangi dengan penyediaan atau produksi yang cukup. Lebih
jauh lagi dapat terjadi krisis pangan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi seharusnya mampu mempersiapkan bangsa ini dari krisis pangan.
Sehingga diantara pengembangannya yaitu melalui pendekatan rekayasa
optimalisasi produktivitas lahan, salah satu pendekatan yang berpeluang mengatasi
permasalahan penyempitan lahan pertanian khususnya di kawasan pinggiran
perkotaan (Sub Urban) adalah dengan Agri Fish Integrated Farming (AFIF).
AFIF ini merupakan sebuah contoh sistem pertanian terintegrasi yang memadukan
beberapa teknik budidaya pertanian dan perikanan dengan kegiatan bercocok
tanam. Seperti halnya di Provinsi Bali telah berhasil menerapkan SIMANTRI
(Sistem Pertanian Terintegrasi) yaitu program terobosan untuk mempercepat
adopsi teknologi pertanian berbasis pertanian terpadu. Konsep sistem tersebut
hampir sama dengan AFIF yaitu pemaksimalan dan pengintegrasian potensi lokal
yang berorientasi pada pertanian yang berkelanjutan dengan menggunakan
teknologi sederhana tepat guna (http://distanprovinsibali.com/index.php?menu=tentangsimantri,
diakses pada 8 Februari 2013).
Implementasi AFIF (Agri
Fish Integrated Farming) di lapangan adalah dengan memadukan dua teknik
budidaya yaitu pertanian dan perikanan lalu merekayasanya menjadi satu
kesatuan. Dengan memanfaatkan saluran irigasi yang lancar, sebagian kecil lahan
pertanian dimodifikasi menjadi kolam aquaponik, dengan ukuran minimal 3m x 4m
untuk budidaya ikan yang optimal. Disekeliling kolam tersebut dibuat media tanam
dengan dua tipe, yaitu media tanam filtrasi dan vertikultur. Keduanya memiliki
fungsi yang berbeda dengan tujuan yang sama untuk meningkatkan produktivitas.
Tanaman yang bisa dibudidayakan beraneka ragam mulai dari bahan pangan (jagung,
singkong, umbi-umbian) dan sayuran (bayam, kangkung, sawi, kacang panjang,
terong dan lain-lain), sedangkan untuk ikan budidaya adalah gurame, patin, lele
dan nila.
Kedua teknik tersebut
dipadukan dengan sistem resirkulasi yang merupakan konsep dari aquaponik dengan
menggunakan teknologi sederhana tepat guna berupa wasserat mit (kincir air). Kegiatan budidaya ikan yang biasanya
menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan dapat diminimalisir dengan media
tanam filtrasi yang akan menyaring unsur amoniak pada air kolam yang pada
konsentrasi tertentu bisa menghambat pertumbuhan ikan dan juga limbah budidaya
ikan tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk menyuburkan tanaman
di sekelilingnya. Outputnya, hasil panen dari sistem AFIF ini dapat untuk
memenuhi kebutuhan sehari hari dan limbah air budidaya dari AFIF dapat
dimanfaatkan kembali untuk mengairi sawah.
Modifikasi lahan
pertanian dengan sistem AFIF ini dapat mengoptimalkan produktivitas lahan
dengan memaksimalkan pemanfaatkan sumber daya alam lokal, tidak mengacu pada
satu varietas saja. Sehingga hasil panen para petani yang relatif minimal dapat
dikumpulkan melalui gapoktan yang mungkin dapat disalurkan pada Gudang Bulog
terdekat, sebagai bahan cadangan makanan manakala krisis pangan terjadi.
Terpinggirkannya kebijakan investasi pertanian dan budaya bangsa kita yang
masih tinggi terhadap konsumsi beras sebagai bahan pangan cukup mendukung
sistem Agri Fish Integrated Farming
(AFIF) sebagai salah satu solusi terbaik menghadapi krisis pangan.
AFIF tampak dari samping
AFIF tampak dari atas
Daftar Pustaka
Badan Litbang Pertanian. 2011.
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.
http://www.litbang.deptan.go.id/special/rppk.
Diakses pada 31 Januari 2013.
Badan
Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
(RPPK). Jakarta.
Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Prov. Bali. 2010. Kegiatan Sistem Pertanian
Terintegrasi (SIMATRI) di Provinsi Bali.http://distanprovinsibali.com/index.php?menu=tentangsimantri.
Diakses pada 8 Februari 2013.
Yunus,
Hadi S., 2000, Struktur Tata Ruang Kota, Yogyakarta, Penerbit Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment